Bougenville di halaman rumah bercat putih itu seakan menjadi saksi
bisu. Di dekatnya, tampak berdiri seorang tentara Belanda memangku
senjata sedang berjaga. Bung Karno, Sutan Syahrir dan H Agus Salim
kelihatan tertawa. Mengapa mereka tertawa? Bukankah mereka dalam
pengasingan? Entahlah. Tapi, setidaknya itulah yang tergambarkan dalam
foto memoar yang tergantung di dalam rumah bersejarah itu, kini.
Di Desa Laugumba, Kecamatan Berastagai Tanah Karo tepatnya di kawasan
seluas 1,5 hektar, terdapat sebuah rumah semi permanen bercat putih,
beratap seng berukuran 20×30 meter, dengan seluas taman yang ditumbuhi
rerumputan hijau dan bunga-bunga. Tempatnya hening, jauh dari
kebisingan. Angin berhembus sejuk hampir sepanjang waktu. Dan tahukah
Anda bahwa di tempat itulah Soekarno, sang pelopor kemerdekaan dengan
kedua tokoh penting itu pernah diasingkan semasa Belanda melancarkan
Agresi Militer yang kedua, pada 1948.
Ir Soekarno yang juga digelari sebagai “putra sang fajar” merupakan
presiden pertama Republik Indonesia (RI), H Agus Salim yang merupakan
perdana menteri pertama RI, serta Sutan Syahrir menteri luar negeri RI,
ketiganya pernah menginap selama 12 hari di sana. Setelah itu dibawa ke
Parapat selama tiga hari dengan alasan faktor keamanan.
Fakta apa saja yang terdapat seputar pengasingan ketiga tokoh yang
dianggap ektrimis oleh Belanda itu? Banyak versi yang menjelaskannya.
Dari situs resmi Yayasan Bung Karno, Cindy Adams dalam bukunya
“Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” (2001) menuliskan, “Berastagi
berarti mengalami kehidupan Bengkulu lagi. Hanya saja, ada beberapa
perbedaan. Satu: mereka tidak menamakan pengasingan. Sekarang istilah
‘penjagaan untuk keselamatan’. Dua: ‘kami dijauhkan dari isteri kami’.
Dan tiga: ‘kami berada di lingkungan kawat berduri dengan diawasi enam
orang pakai senapan mondar-mandir secara bersambung.’”
Versi lain. Dari antara mereka yang ditangkap di Yogja
(Yogyakata-red), sembilan orang ditunjuk untuk diiternir tanpa kriteria
tertentu. Tidak mengherankan bahwa Soekarno dan Hatta termasuk kelompok
ini. Akan tetapi Syahrir, sebagai anggota Dewan Penasehat mempunyai
kedudukan yang kurang penting, juga termasuk di dalamnya. Dari para
menteri mula-mula, hanya Agus Salim yang dipilih. Di samping itu,
diasingkan lagi Ketua KNIP Assa’at, Sekretaris Negara Pringgodigdo, dan S
Suriadarma.
Pada 23 Desember 1948 mereka naik pesawat terbang yang dikendalikan
oleh seorang komandan yang ditetapkan baru boleh membuka surat perintah
bersegel “sangat rahasia” kalau sudah di udara. Kemudian waktu itu sang
komandan tahu bahwa mereka harus pergi ke Pulau Bangka. Lalu ketika
mendarat di ibukota Bangka, Pangkalpinang, Hatta bersama tiga orang
tahanan lainnya disuruh meninggalkan pesawat. Mereka dipenjarakan di
sana. Tiga orang yang masih tersisa, Soekarno, Syharir dan Agus Salim
diterbangkan ke Medan. Dari sana mereka naik kendaraan ke Berastagi,
sebuah kota di pegunungan kira-kira 60 kilometer dari Kota Medan.
Setelah ketiganya di Berastagi, tenyata di sana timbul masalah
penjagaan, mereka bertiga lalu diasingkan ke tempat lain. Pada 1 Januari
1949 mereka dipindahkan ke Parapat, sebuah tempat liburan yang tidak
jauh dari Berastagi. Di sana, mereka ditempatkan di sebuah rumah
peristirahatan mewah yang lebih mudah dijaga. Demikian pula Lambert
Giebels dalam bukunya “Soekarno Biografi 1901-1950” (2001) melukiskan
peristiwa pengasingan Soekarno ke dari Berastagi ke Parapat.
Sedang, DR Asvi Warman Adam (sejarahwan LIPI) dalam keterangannya
pada tahun 2005 menjelaskan, Bung Karno tak lama di Berastagi karena
alasan keamanan. Tempat mereka menginap dianggap pihak Belanda tidak
aman karena bisa diserang oleh Laskar Rakyat. Saat itu, Tanah Karo
dikenal sebagai poros perjuangan rakyat Sumatra Utara untuk menegakkan
kemerdekaan di Republik Indonesia. Mereka pun secepatnya dipindahkan ke
Parapat (di pinggir Danau Toba) pada 1 Januari 1949. Dan pada 7
Februari, dari Parapat mereka dibawa ke Pulau Bangka. Mereka berkupul di
sana. Lalu pada 6 Juli 1949 Bung Karno kembali ke Yogyakarta.
Rumah putih warisan kolonialis
“Kawan! Pusara adalah lambang kesinambungan hidup! Mati! Dalam perjuangan. Bahana kekal panggilan Bung Karno dari Blitar sampai Tanah Karo”
“Kawan! Pusara adalah lambang kesinambungan hidup! Mati! Dalam perjuangan. Bahana kekal panggilan Bung Karno dari Blitar sampai Tanah Karo”
(Sitor Situmorang)
Demikian Sitor Situmorang, sastrawan angkatan 45 itu menuliskan
seuntai kalimat tanda penghormatan pada “sang proklamator” pada sepetak
batu marmer di Monumen Bung Karno, Laugamba Berastagi. Saksi bisu—pohon
berbunga violet—itu masih tumbuh subur di sana memesona taman itu. Kicau
burung-burung terdengar di balik pepohonan menambahi ketenangan
suasana.
Alasan inikah yang membuat pemerintah kolonial Belanda membangun
sebuah rumah peristirahatan, yang kelak menjadi rumah tawanan sementara
bagi Soekarno dan dua tokoh penting itu di sana?
S Sinaga, sang penjaga bekas rumah tahanan yang selama ini sering
digunakan sebagai mess (tempat peristirahatan) bagi pejabat Pemerintahan
Sumatra Utara itu, menjelaskan bahwa memang rumah itu dulunya adalah
kediaman khusus diperuntukkan bagi jenderal-jenderal Belanda selama
melaksanakan tugasnya di daerah kolonial kawasan Tanah Karo.
Tak jelas kapan rumah ini dibangun, yang pasti sekitar tahun 1800-an,
jelas Sinaga, yang merupakan anak dari J Sinaga, sang ayah yang pernah
bekerja sebagai juru masak Belanda (koki) di rumah tersebut.
Hebatnya, meski setua itu, tampak kondisi bangunan dan perabotan yang
ada di dalamnya masih tampak kuat dan awet. Soekarno ditempatkan
sendiri dalam satu kamar. Di ruangan tengah antara kamar tidur Soekarno
dengan kamar tidur Agus Salim dan Sutan Syahrir terdapat satu set meja
dan kursi.
Ada juga lukisan tergantung di sana, sebuah lukisan artistik berobjek
bunga, karya F Van Vreeland dan lukian sebuah ladang yang asri dan
subur karya Jan Sleyter. Di dalam ruangan terasa adem, tenang. Nah, di
ruang tamu akan didapati dua buah foto yang tergantung di dinding ruang
tamu, yang masing-masing menggambarkan bahwa Seoekarno, Agus Salim dan
Sutan Syahrir pernah singgah di tempat ini.
Kedua foto merupakan hasil reproduksi Sem Anthonius Meliala. Sedang
foto aslinya, kata Sinaga, berada di tangan seorang warga negara
Belanda, yang pada 2001pernah dipinjamkan kepada Sem untuk dicetak
ulang.
“Inilah salah satu bukti sejarah yang menunjukkan bahwa Soekarno
memang pernah diasingkan di Tanah Karo,” katanya sambil menunjukkan
bougenville yang pohonnya masih tumbuh pendek dan di depannya tampak
seorang Belanda memangku senjata berlars panjang sedang mengawasi mereka
bertiga. Dan dalam foto tersebut, ketiganya terlihat sedang tertawa.
Seokarno mengenakan pakaian kebesarannya, Sutan Syahrir mengenakan
kemeja dan rompi, sedang Agus Salim tersenyum sambil memegang
tongkatnya.
“Soekarno, Agus Salim dan Sutan Sharir diperlakukan secara terhormat.
Mereka dianggap sebagai tahanan politik terhormat oleh Belanda waktu
itu,” ujar Sinaga lalu kemudian menunjukkan kamar Bung Karno, dilengkapi
dengan dua buah tempat tidur, lemari dan kamar mandi terpisah dari
ruangan. Semuanya terlihat masih terawat dan kuat.
Di luar, tepat di tengah halaman rumah, berdiri sebuah monumen
perunggu (replika) Soekarno sedang duduk menyilangkan kaki kanannya.
Dengan dua buah lampu sorot di kiri dan di kanan, pahatan buah tangan
Djoni Basri bangunan yang diberi nama Monumen Bung Karno ini diresmikan
pada 22 Desember 2005 oleh Gubernur Sumatra Utara (waktu itu T Rizal
Nurdin), dan Ketua Yayasan Bung Karno Guruh Soekarnoputra.
Awalnya, pemugaran rumah tahanan Bung Karno yang dimulai April 2001
(menjelang 100 tahun Bung Karno) akan dilengkapi dengan patung Bung
Karno setinggi 7 meter, menggambarkan Bung Karno sedang menunjuk ke
depan dengan tangan kanan, sementara tangan kiri menjepit tongkat
komando. Akan tetapi, rencana itu berobah. “Guruh mengatakan kesan
patung demikian rupa diragukan akan menimbukan opini publik yang beragam
tentang Bung Karno,” tutur Sinaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar